| About | Find me |

Friday 7 December 2012

Saya (TIDAK) Benci Pak Ino!



On December 4th, one of my Industry and Organisation lecturer, the most respected one, passed away. This is a blog post I made to honor him. Post is written in Bahasa.

“Saya benci Pak Ino!”

Mungkin bukan awal yang manis bagi sebuah obituari, namun jika saya boleh jujur, kesan itulah yang saya dapatkan setelah interaksi pertama saya dengan beliau di suatu perkuliahan.

Dan mungkin saya punya beberapa alasan untuk tidak menyukai beliau. 
Pak Ino kerap memanggil saya “Ndut”—well saya memang gendut sih.
Beliau pernah menolak mentah-mentah untuk menjawab pertanyaan saya seputar PIO di luar kelas. Dan gara-gara itu saya malu bukan main sampai nangis.
Di suatu perkuliahan, Pak Ino pernah mengata-ngatai almamater saya yang berlokasi dekat kuburan cina sebagai SMA yang seram sehingga membuat saya yang berbadan besar ini juga tampak menyeramkan.
Pak Ino juga pernah mengancam akan melempar saya dengan sandal karena saya terlalu banyak bertanya pada beliau di suatu perkuliahan. 

“Kamu minta saya jelaskan lagi? Tak lempar pakai sandal!”

Di perkuliahan terakhir yang beliau ajar, Pak Ino masih sempat menyepak kaki saya ketika tidak bisa memecahkan masalah sepele tentang validitas dan reliabilitas.

Cruel? A bully? Hateable? Tidak juga. Sebab semua 'kejahatan' itu dilakukan Pak Ino demi kebaikan. A greater good.

Karena berbagai ucapan beliau malah membuat saya melakukan banyak refleksi diri. Ungkapan bernada satire yang sering Pak Ino lontarkan berkali-kali membuat saya tertohok dan malu pada diri sendiri. Cukup banyak pembelajaran saya peroleh dari beliau.

Saya belajar untuk belajar dengan benar. Beberapa kali Pak Ino menyindir kami para mahasiswa sebagai calon Sarjana Power Point, yang jarang membaca buku, yang memang kenyataannya seperti itu. Saya—sebelum ditampar telak dengan pernyataan itu—memang kolektor sejati materi kuliah yang terangkum dalam power point; kaum yang jarang menyentuh buku apalagi membacanya dengan nggetu. Karena beliaulah sekarang saya lebih bersemangat untuk bertekun membaca kitab-kitab ilmu berbahasa asing.
Saya belajar untuk benar-benar memahami materi dan tidak menerapkan auto-delete-mode dalam pembelajaran.
Saya belajar bahwa teori itu penting, penting sekali dan akan mempermudah praktek. Tanpa teori, kita cuma sekumpulan domba tak bergembala yang dilepas di padang tanpa tau arah.

Saya belajar bahwa orang yang belajar psikologi (dianggap) memiliki kekuatan super. Saya mengikuti kuliah Psikodiagnostik dengan asal-asalan; asal lulus. Tapi saya ingat ucapan keras Pak Ino pada kuliah Asas-asas Manajemen tentang beratnya titel Sarjana Psikologi—maupun mahasiswa psikologi—karena sebagian besar orang masih menganggap psikolog sebagai cenayang dan penentu nasib orang lewat berbagai skor asesmen psikologi. Psikolog dianggap orang dengan kekuatan super, yang ucapannya bisa memutus hidup seseorang.
Beliau bercerita tentang hasil psikotesnya yang dibawah rata-rata. He told us he was a debil. (Really, sir?) Seandainya orang tua beliau saat itu benar-benar percaya pada hasil psikotesnya, seharusnya beliau tidak akan pernah mengenyam ilmu sampai Amerika—karena hanya anak ber-IQ jongkok.

“Berapa banyak itu orang tua percaya anaknya goblok akhirnya pasrah atau marah-marah? Berapa banyak orang gak bisa kerja karena IQ dari hasil psikotes nya rendah? Makanya saya nggak mau itu ngetes-ngetes. Saya cuma bisa menyarankan. Apa orang ini diterima kerja di perusahaan atau jabatan tertentu atau tidak disarankan.”

Wasn't his excact words tho, but that's what he said. As he told us this story, I scribed my note with Uncle Ben’s quote “with great power, comes great responsibility.” And I agreed with Pak Ino about this.
Ucapan ini begitu mengena bagi saya yang juga bekerja sebagai tenaga serabutan untuk suatu lembaga psikologi yang sering memberikan psikotes ke sekolah-sekolah. Setiap kali akan melakukan skoring terhadap psikotes anak-anak SMA ini, saya ingat bahwa saya punya tanggung jawab yang besar untuk menentukan ‘nasib’ si anak ini. Sebisa mungkin saya lakukan skoring dengan hati-hati dan teliti.

Saya belajar untuk tidak cuma jadi kembang ban. Di suatu perkuliahan saya pernah bertanya pada beliau, “Kalau semester ini kita bacaannya buku-buku manejemen gini Pak, terus apa bedanya dong kami anak PIO sama anak Manajemen?” Beliau menjawab, 
“Tidak ada! Kalian ini kan cuma kembang ban; onok gak popo, gak onok yo gak popo. Makanya kalian harus belajar supaya bisa jadi lebih dari mereka yang sama-sama belajar organisasi dan manajemen!” 
Jawaban Pak Ino terkait kembang ban ini memang ucapan standarnya. Namun kali itu, saya yang sudah mengambil beberapa mata kuliah peminatan PIO benar-benar merasa terusik dan berkali-kali membuat saya bertanya, “Lapo aku biyen njupuk peminatan PIO lek pas kerjo mek dadi kembang ban?” Tapi pada akhirnya saya sadar, ucapan itu adalah cambuk bagi kami—bagi saya—untuk menjadi sosok yang lebih dari sekadar kembang ban yang harus terus belajar supaya memiliki nilai tambah, agar nantinya tidak akan jadi kuli di negeri sendiri.

Pak Ino membuat saya bertanya pada diri sendiri, “Ngapain aja aku selama kuliah ini?” Tujuh semester dengan sisa enam bulanan untuk menggarap skripsi dan saya merasa saya belum layak lulus ataupun menyandang gelar sarjana. Membaca tagar #InoYuwono di linikala dan mengingat-ingat kembali perkataan beliau di berbagai perkuliahan membuat saya merasa tertampar berkali-kali. 
"Semester berapa kamu? Berapa banyak buku yang sudah kamu baca? Shame on you!"
Teringat minimnya jumlah buku terkait perkuliahan dan psikologi yang pernah saya baca—yang sangat sedikit jumlahnya. 
Teringat KHS yang walau dihiasi beberapa huruf yang mengimplikasikan nilai bagus rasanya lebih layak untuk disebut KHS Ajur bin Bosok. 
"Berapa nilai Statistik kamu? Berapa sih IPmu? Nilai A kalian itu Ajur, B-nya Bosok!"
Terbersit rasa takut menjadi TKI (Tenaga Kuli Indonesia) di negara sendiri karena minimnya kualitas diri. 
"Ya seperti ini kondisi work-force di Indonesia. Kalo kalian males kalian bisa jadi TKI di negara sendiri. Tenaga Kuli Indonesia!"
Dan rasa malu luar biasa karena merasa hebat jadi mahasiswa psikologi yang dibekali teori-teori motivasi dan kepribadian tapi tidak bisa mengaplikasikannya dengan tepat.
"Jam saya ini Rolex. Kenapa saya pakai? Kata kamu tadi apa? Maslow? Aktualisasi diri? Self-esteem? Self-confidence? Mbelgedes semuanya! Saya pakai jam ini karena saya mau kok!" Kata bapak sambil teratawa culas. "Kenapa tidak tanya langsung ke saya alasannya apa? Main analisa tok sembarangan pakai teori."
Ah… Shame on me. Really, shame on me, Sir. Saya layak mendapat statement itu dari beliau.
Saya merasa selama kuliah saya tidak menggunakan waktu saya dengan baik dan sudah waktunya bagi saya untuk memanfaatkan waktu yang sempit ini untuk jadi mahasiswa calon sarjana yang baik.

Dan sayapun lupa kenapa di awal perkuliahan dulu saya membenci Pak Ino. Terlalu banyak pelajaran dan bekal hidup yang beliau berikan. Terlampau banyak bekal positif beliau berikan lewat ucapan kejamnya. Beliau tidak layak dibenci. Somehow he made us love him, and he did it in his own way by making us hating him.

Saya akan merindukan Bapak dan segala sindiran yang membuka cakrawala yang Bapak lontarkan.

Although you are now gone, parts of you still lives with us, Pak. May God rests your soul!

Dari mahasiswa yang mungkin tidak ia ingat,
Ernestine. 


2 comments:

  1. like this nes.. eman aku ga kenal orangnya, keren soro keliatane. moga arwahnya diterima di sisi Tuhan.

    ReplyDelete
  2. Hi there, You've done a great job. I'll definitely digg it and
    personally recommend to my friends. I'm confident they will be benefited from this web site.

    Look into my blog post ... assfucked.org

    ReplyDelete

Anything you want to tell me? Say it nicely, please :)